Sepekan terakhir kita menyaksikan pertunjukan mengasyikkan sekaligus menjengkelkan. Pertama, aksi Komjen Polisi Susno Duadji menolak dieksekusi oleh petugas kejaksaan, lalu lari sembunyi, dan kini menjadi buron. Kedua, kritik atasan dan perlawanan bawahan kepada Gubernur DKI Jokowi.
Dalam kasus Susno Duadji menarik diikuti karena terdapat drama dan ironi. Susno Duadji dan pembelanya, petugas kejaksaan, serta aparat kepolisian, telah mempertontonkan adegan-adegan menegangkan. Mereka terlibat dalam pelarian dan pengejaran, pelepasan dan penangkapan, serta pembebasan dan penjeblosan ke penjara seorang terpidana. Semua itu direkam baik melalui layar televisi.
Jika perlawanan eksekusi itu dilakukan penjahat kelas kakap atau kelas coro, takkan bikin heboh. Ya, "profesi" penjahat memang harus melawan hukum. Tetapi karena perlawanan eksekusi dilakukan seorang jenderal polisi, maka ironi besar terjadi. Sungguh tidak bisa dipahami jenderal polisi menolak eksekusi. Dan ironinya semakin menjadi-menjadi karena perlawanan eksekusi itu melibatkan institusi polisi.
Susno, Yusril atau pembela lainya, boleh saja menyampaikan banyak dalih. Namun ketika MA dan MK melalui putusan atau penyataannya, bahwa eksekusi harus dilakukan, sudah semestinya Susno menerimanya.
Tetapi dalam kasus ini masalahnya tidak sekadar pada pribadi atau perlawanan Susno, melainkan pada peran negara sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban. Jika negara menunjukkan kelemahannya dalam mengeksekusi Susno, maka negara ini tidak bisa menjalankan fungsinya, sehingga terancam bubar. Sebab, di luar sana masih bertebaran Susno-Susno yang lain.
Sementara itu, pada kasus kritik Mendagri Gamawan Fauzi kepada Jokowi, sungguh sulit dimengerti. Apa salah Jokowi dengan kegiatan blusukan untuk menyapa rakyat? Apakah blusukan Jokowi itu telah membuat aktivitas pemda macet? Apakah pelayanan pemda kepada rakyat berhenti? Bukankah untuk urusan memimpin rapat-rapat, Jokowi sudah menyerahkan ke Wakil Gubernur Ahok?
Mendagri seharusnya tidak perlu risau atas gaya blusukan Jokowi. Selama tugas-tugas pemda berjalan lancar, apa pun gaya kepemimpinan kepala daerah, tidak perlu dipersoalkan. Pada titik inilah kita melihat betapa naif, kritik Mendagri kepada Jokowi.
Selaku gubernur, Jokowi memang harus diawasi dan dikritik. Tapi kalau kritik itu tertuju pada gaya kepemimpinan, sungguh tidak perlu dilakukan oleh seorang pejabat tinggi. Kecuali Mendagri punya motif politik di balik kritik itu, misalnya bermaksud meredakan popularitas Jokowi. Kalau memang itu tujuannya itu, ya mari kita saksikan permainan politik tanpa martabat ini.
Atau, kritik Mendagri itu ada hubungannya dengan protes sejumlah pegawai pemda DKI Jakarta atas kebijakan lelang jabatan camat dan lurah. Protes itu bisa dimengerti, karena PNS pemda yang selama ini mendapat prevelis menduduki jabatan itu, sebut saja para lulusan STPDN, menjadi tidak jelas masa depannya. Jabatan yang tinggal nunggu giliran, tiba-tiba lenyap begitu saja. Siapa tidak kecewa?
Mendagri bisa merasakan kegalauan itu, karena sebagai PNS pemda yang meniti karier dari bawah hingga jadi sekda, bupati, gubernur dan menteri, Gamawan merasakan betul pentingnya jenjang karir yang konsisten dan jelas. Jika tidak, PNS pemda bisa gagal menjalankan fungsi-fungsi pemda. Masalahnya, benarkah dengan lelang jabatan camat dan lurah, pemda akan kedodoran karena tidak didukung aparat andal?
Kita semua merasa, nyaris tidak ada perubahan pelayanan pemda kepada rakyatnya, sejak Orde Baru hingga 15 tahun masa reformasi. Di mana-mana mental PNS pemda sama: minta dihormati, minta dilayani. Akibatnya banyak pemda yang gagal memenuhi tuntuan masyarakat, padahal pendapatan mereka memakan 65 persen APBD.
Jadi, lebih baik berjudi –jika memang boleh disebut begitu– mencari camat dan lurah kompeten dengan lelang jabatan, daripada urut kacang lulusan STPDN, yang sudah terbukti sekian tahun membuat pemda di mana-mana stagnan.
Dalam kasus Susno Duadji menarik diikuti karena terdapat drama dan ironi. Susno Duadji dan pembelanya, petugas kejaksaan, serta aparat kepolisian, telah mempertontonkan adegan-adegan menegangkan. Mereka terlibat dalam pelarian dan pengejaran, pelepasan dan penangkapan, serta pembebasan dan penjeblosan ke penjara seorang terpidana. Semua itu direkam baik melalui layar televisi.
Jika perlawanan eksekusi itu dilakukan penjahat kelas kakap atau kelas coro, takkan bikin heboh. Ya, "profesi" penjahat memang harus melawan hukum. Tetapi karena perlawanan eksekusi dilakukan seorang jenderal polisi, maka ironi besar terjadi. Sungguh tidak bisa dipahami jenderal polisi menolak eksekusi. Dan ironinya semakin menjadi-menjadi karena perlawanan eksekusi itu melibatkan institusi polisi.
Susno, Yusril atau pembela lainya, boleh saja menyampaikan banyak dalih. Namun ketika MA dan MK melalui putusan atau penyataannya, bahwa eksekusi harus dilakukan, sudah semestinya Susno menerimanya.
Tetapi dalam kasus ini masalahnya tidak sekadar pada pribadi atau perlawanan Susno, melainkan pada peran negara sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban. Jika negara menunjukkan kelemahannya dalam mengeksekusi Susno, maka negara ini tidak bisa menjalankan fungsinya, sehingga terancam bubar. Sebab, di luar sana masih bertebaran Susno-Susno yang lain.
Sementara itu, pada kasus kritik Mendagri Gamawan Fauzi kepada Jokowi, sungguh sulit dimengerti. Apa salah Jokowi dengan kegiatan blusukan untuk menyapa rakyat? Apakah blusukan Jokowi itu telah membuat aktivitas pemda macet? Apakah pelayanan pemda kepada rakyat berhenti? Bukankah untuk urusan memimpin rapat-rapat, Jokowi sudah menyerahkan ke Wakil Gubernur Ahok?
Mendagri seharusnya tidak perlu risau atas gaya blusukan Jokowi. Selama tugas-tugas pemda berjalan lancar, apa pun gaya kepemimpinan kepala daerah, tidak perlu dipersoalkan. Pada titik inilah kita melihat betapa naif, kritik Mendagri kepada Jokowi.
Selaku gubernur, Jokowi memang harus diawasi dan dikritik. Tapi kalau kritik itu tertuju pada gaya kepemimpinan, sungguh tidak perlu dilakukan oleh seorang pejabat tinggi. Kecuali Mendagri punya motif politik di balik kritik itu, misalnya bermaksud meredakan popularitas Jokowi. Kalau memang itu tujuannya itu, ya mari kita saksikan permainan politik tanpa martabat ini.
Atau, kritik Mendagri itu ada hubungannya dengan protes sejumlah pegawai pemda DKI Jakarta atas kebijakan lelang jabatan camat dan lurah. Protes itu bisa dimengerti, karena PNS pemda yang selama ini mendapat prevelis menduduki jabatan itu, sebut saja para lulusan STPDN, menjadi tidak jelas masa depannya. Jabatan yang tinggal nunggu giliran, tiba-tiba lenyap begitu saja. Siapa tidak kecewa?
Mendagri bisa merasakan kegalauan itu, karena sebagai PNS pemda yang meniti karier dari bawah hingga jadi sekda, bupati, gubernur dan menteri, Gamawan merasakan betul pentingnya jenjang karir yang konsisten dan jelas. Jika tidak, PNS pemda bisa gagal menjalankan fungsi-fungsi pemda. Masalahnya, benarkah dengan lelang jabatan camat dan lurah, pemda akan kedodoran karena tidak didukung aparat andal?
Kita semua merasa, nyaris tidak ada perubahan pelayanan pemda kepada rakyatnya, sejak Orde Baru hingga 15 tahun masa reformasi. Di mana-mana mental PNS pemda sama: minta dihormati, minta dilayani. Akibatnya banyak pemda yang gagal memenuhi tuntuan masyarakat, padahal pendapatan mereka memakan 65 persen APBD.
Jadi, lebih baik berjudi –jika memang boleh disebut begitu– mencari camat dan lurah kompeten dengan lelang jabatan, daripada urut kacang lulusan STPDN, yang sudah terbukti sekian tahun membuat pemda di mana-mana stagnan.
[tts]merdeka.com
KliK DI BAWAH INI: