Insiden pembunuhan sadis terhadap seorang tentara Inggris, Lee Rigby (25 tahun), pada Rabu pekan lalu serta peristiwa penusukan terhadap seorang tentara Prancis pada akhir pekan lalu, memperlihatkan bahwa tentara-tentara di Eropa mulai mendapat ancaman serius dari aksi terorisme.
Pembunuhan sadis terhadap Lee Rigby terjadi di wilayah Woolwich, sebelah timur Ibu Kota London, Inggris, diduga didalangi kelompok Islam ekstremis. Perdana Menteri Inggris David Cameron dan anggota parlemen dari Partai Konservatif Theresa May mengatakan ini merupakan serangan teroris.
Pelaku pembunuhan sadis itu mengatakan tega menghabisi nyawa korban lantaran banyak muslim dibantai saban harinya. Lebih mengejutkan lagi, pelaku saat itu tidak berusaha melarikan diri. Namun mereka meyakinkan tidak akan menyerang sipil.
Surat kabar the Daily Mail pekan lalu menulis, setelah menghabisi nyawa korban, pelaku yang merupakan lelaki kulit hitam membuat pernyataan soal pandangan politiknya. "Kami melawan sebab Inggris melawan kami. Mata harus dibayar mata. Gigi dibayar gigi," ujar pelaku.
Mereka juga mengatakan hampir setiap hari kaum perempuan di negaranya juga melihat pembantaian. Dia juga bersumpah demi Allah tidak ingin menyerang sipil, namun meminta pemerintah Inggris segera diganti atau warga Inggris yang bakal celaka.
Dua pelaku utama pembunuhan brutal itu kini tengah dirawat di dua rumah sakit terpisah setelah berhasil ditembak dan ditangkap polisi. Kedua pelaku diketahui bernama Michael Adebolajo dan Michael Adebowale.
Kenya sebetulnya sudah dari jauh-jauh hari memperingatkan Inggris soal radikalisme yang bakal dilakukan Michael Adebolajo. Namun, informasi itu tidak digubris Negeri Tiga Singa itu.
Adebolajo pernah ditahan di Kenya sebab terlibat dengan kelompok teroris Al Shahab di Somalia. Dia bertugas merekrut pemuda-pemuda atas nama jihad. Namun, saat Kenya melaporkan ini ke kedutaan Inggris, mereka malah bilang Adebolajo tidak punya catatan kriminal.
Sementara itu, kejadian penusukan terjadi terhadap seorang tentara Prancis pada akhir pekan lalu. Korban saat itu sedang berpatroli bersama dua tentara lainnya sebagai bagian dari rencana pengawasan anti-terorisme di Prancis.
Namun, sekitar pukul 18.00 waktu setempat korban didekati pelaku dari belakang dan ditikam di bagian lehernya dengan menggunakan sebuah pisau atau alat pemotong. "Luka dialami korban cukup serius, namun tidak sampai mengancam jiwanya," ujar Polisi bertugas di Kawasan Hauts-de-Seine, Pierre Andre Peyvel.
Presiden Prancis Francois Hollande mengatakan pelaku penusukan saat itu berhasil melarikan diri dan masih diburu polisi. "Kita masih belum tahu pasti motif penyerangan atau identitas pelaku. Tetapi kami akan meneliti dari semua aspek."
Surat kabar Le Parisien mengutip sumber dari seorang polisi mengatakan bahwa pelaku diduga seorang pria berjanggut asal Afrika Utara berusia sekitar 30-an tahun. Pelaku juga mengenakan sebuah pakaian bergaya Arab di balik jasnya.
Prancis saat ini memang berada dalam siaga penuh dalam mencegah serangan dari kelompok milisi Islam, setelah Prancis campur tangan dalam urusan militer di Mali pada Januari lalu. Hal ini dilakukan Prancis untuk menghalau ancaman terhadap kepentingan-kepentinganya dari kelompok milisi Al-Qaidah in the Islamic Maghreb (AQIM).
Serangan ini datang selang beberapa hari setelah insiden pembunuhan sadis terhadap seorang tentara Inggris di Ibu Kota London oleh dua orang yang menyatakan bahwa mereka bertindak untuk membalas dendam atas kekerasan terhadap kaum muslim.
[fas]merdeka.com
KliK DI BAWAH INI: