Jika waktu bisa kembali ke masa lalu. Saya ingin sekali melihat terakhir kali wajah ayah saya sebelum meninggal. Dia adalah pahlawan bagi saya. Saya ingin meminta maaf kepadanya.
Begitulah ungkapan TPI Boyo, salah seorang pengidap HIV Aids saat ditemui Global kemarin. Seperti juga dengan kondisi orang yang sehat. Boyo, begitu ia akrab disapa, fisiknya masih kelihatan sehat dan bugar. Tapi di balik itu, tersimpan sebuah rahasia Tuhan yang tak bisa ia hindari. Kematian.
Boyo mengisahkan, sudah hampir lima tahun ini tubuhnya digerogoti virus HIV yang sampai kini belum ada obatnya.”Kalau Tuhan memutar waktu ke belakang, saya ingin melihat ayah saya terakhir kalinya. Tapi, itu tidak mungkin. Saat ini yang bisa saya lakukan adalah bagaimana bisa berbuat baik kepada orang lain,” ucapnya dengan suara yang tegas.
Kondisi keluarga yang mengalami masalah di saat dirinya masih duduk di bangku sekolah membawa Boyo ke dunia yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia terlibat ke dalam dunia hitam. Awalnya hanya sekedar mencoba, selanjutnya ketagihan mengkonsumsi narkoba.
“Awalnya sih hanya ingin menghilangkan rasa kesal saja. Tapi malah ketagihan. Dari mulai konsumsi ganja sampai kemudian ke putaw. Pingin melepaskan diri saja dari masalah yang ada saat itu,” jelas Boyo mengenang masa lalunya.
Pindah ke Bandung
Selesai menyiapkan sekolahnya di Medan, Boyo pun kemudian pindah ke Bandung. Di kota kembang ini, kehidupan yang dialaminya justru bertambah. Pergaulan bebas ala anak muda Bandung menyeretnya ke dalam dunia hitam yang lebih dalam. Ia sudah ketergantungan dengan barang haram ini.
Perkenalannya dengan seorang model, sebut saja namanya DV, yang sekarang ini menjadi salah seorang artis papan atas Indonesia. Membuat dirinya mulai kenal dengan jarum suntik. Dari biasanya yang hanya mengkonsumsi narkoba dengan menghisap, kemudian beralih ke suntik.
“Nggak usah disebutkan siapa dia. Saat ini sudah jadi artis. Di Bandung keadaan saya bertambah gawat. Sampai kemudian saya dibawa pulang kembali oleh ayah. Bahkan kuliahpun saya tak tamat,” paparnya.
Sebelumnya, sang ayah tidak mengetahui jika kondisinya semakin memprihatinkan. Hingga pada suatu hari, ayahnya ingin memberikan kejutan dengan datang diam-diam di kost yang disewanya. Namun yang dilihat sang ayah, bukan Boyo yang sedang membaca buku kuliah. Tapi, sebuah kamar kosong yang sudah tak ada isinya lagi.
Saat membuka pintu kost, Boyo melihat sang ayah duduk terpaku di tempat tidurnya. Tak ada kata-kata, yang ada hanya linangan air mata.”Saya nggak tahu kalau ayah saya datang dari Medan. Semua yang ada di kamar sudah saya jual semua untuk beli narkoba, termasuk sebuah mobil Escudo,” kenangnya.
Masuk Rehabilitasi, Jual Gas dan Blender
Sekitar tahun 1999, setiba di Medan, ia masuk pusat rehabilitasi. Hanya tiga bulan ia mampu bertahan.”Di Medan saya kuliah lagi di UMSU. Tapi itupun nggak sampai selesai. Sekitar tiga bulan saya berhenti mengkonsumsi narkoba,” ujar anak bungsu dari tujuh bersaudara ini.
Pada tahun itu, ia sampai enam kali bolak-balik masuk rehabilitasi. Keluarganya sangat mencemaskan perilakunya. Sang ayah pun kemudian jatuh sakit. Tapi, dirinya masih belum bisa berubah total. Kebiasannya mengkonsumsi barang haram masih dilanjutkannya.
Menginjak tahun 2001, sebuah peristiwa pahit menyadarkan dirinya. Sang ayah yang menderita kanker paru-paru stadium tiga dipanggil sang kuasa. Ia merasa terpukul. Dengan langkah yang tak punya arah, ia pulang ke rumah setelah beberapa bulan kabur dari rumah.
“Sebelum ayah meninggal, saya sempat kabur dari rumah. Karena nggak ada uang lagi, saya jual semua barang yang ada di rumah. Termasuk gas dan blender. Dari situlah, saya dihajar abang. Saya pun kabur. Tapi dari situ jugalah saya menyesal. Saya belum sempat melihat ayah terakhir kalinya,” seru Boyo.
“Apalagi kata abang, pesan ayah sebelum meninggal adalah agar semua saudaranya menjaga dirinya. Ayah ternyata masih sayang sama saya. Itu yang nggak akan pernah saya lupakan,” tambahnya.
Dua tahun berikutnya, ia mencoba memeriksakan dirinya. Hasilnya? Darah yang ada di tubuhnya dinyatakan positif HIV. Mendengar hal itu, keluarganya syok. Ia pun menyesali segala perbuatannya. Ada satu titik cahaya terang yang menyinari hatinya. Ia mencoba bangkit dan mencoba untuk terus bertahan.
Tahanan Pertama di Rutan Labuhan Deli yang Mengidap Aids
Sepak terjang kehidupan Boyo sepertinya penuh dengan lika-liku. Tak hanya pernah menjadi pecandu narkoba, tapi ia pernah kena tuduhan curanmor. Hingga dirinya harus mendekam di Penjara. Bahkan, ia tercatat sebagai tahanan pertama yang mengidap HIV Aids. Yang selanjutnya di bebaskan.
“Sebenarnya masa tahanan masih dua bulan lagi. Di bulan keempat, penyakit saya ketahuan. Seisi rutan pun tahu kalau saya adalah pengidap Aids,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Boyo juga menjadi pasien pertama pengobatan terapi Metadon yang dilakukan di RS Adam Malik. Dengan melakukan terapi dan menjalankan hidup sehat, keadaan Boyo masih tetap segar bugar.
“Banyak orang yang bertanya kepada saya. Kok bisa berumur panjang. Apa rahasianya? Saya hanya menjawab hidup sehat, berpikir positif dan berdoa. Itulah yang saya lakukan. Sampai sekarang ini setiap jam 10 pagi saya harus minum metadon, untuk memperkuat tubuh saya,” jelasnya.
Jangan Pernah Coba-coba Narkoba
Sejak di vonis positif HIV, Boyo mengalami perubahan 360 derajat. Ia tak pernah lagi bersinggungan dengan narkoba. Ia pun mulai aktif di organisasi yang bergerak di HIV Aids. Dari mulai di Center For Drugs User, Medan Plus sampai di Cordia Caritas Medan, tempatnya mengabdikan dirinya saat ini.
Dari sinilah ia ingin menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda untuk menghindari narkoba. Selama berbincang-bincang dengannya, Boyo selalu mengatakan jangan pernah bersinggungan dengan narkoba. Sekali masuk, sulit untuk keluar.
“Saya sebenarnya bersyukur dengan ini. Kalau tidak kena HIV Aids, mungkin nasib saya lebih buruk lagi. Buat semuanya, tolonglah jangan sekali-kali mencicipi narkoba. Itu barang sesat. Nggak akan pernah bisa membahagiakan. Hanya sesaat saja. Lakukan hal-hal terbaik,” jelasnya.
Ia pun tak canggung untuk membantu setiap masyarakat yang terlibat dengan barang haram ini. Bahkan, beberapa pasien HIV Aids yang sudah kritis keadaannya dengan telaten selalu dibimbingnya.
”Saya ingin membalas semua kelakukan buruk saya dengan kebaikan. Itulah yang berharga dalam diri saya. Karena saya tidak tahu kapan Tuhan memanggil saya. Kapan saja saya sudah siap untuk itu. Meskipun begitu, saya ingin Tuhan memberikan kesempatan untuk melihat anak pertama saya nikah kelak. tapi, itu semua saya serahkan kepada Tuhan,” pungkasnya menutup pembicaraan.