Kasus penyerangan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman (Yogyakarta) oleh Kopassus belum hilang dari benak publik. Masyarakat dikejutkan lagi oleh penganiayaan anggota TNI terhadap petugas jaga dan sopir di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebelumnya hampir seratus prajurit membakar kantor polisi di Sumatera Selatan.
Sejak 2004 sampai awal 2013, jumlah kekerasan dilakukan aparat militer, menurut catatan Imparsial, mencapai 87 kasus. Namun proses pengadilan dan hukuman diberikan kepada pelaku dinilai tidak terbuka.
Koalisi masyarakat sipil menganggap otoritas sipil, termasuk politisi DPR dan presiden, gagal mereformasi peradilan militer. Akibatnya, tidak ada hukuman adil bagi anggota TNI melakukan kekerasan sehingga tidak dapat memberikan efek jera.
Direktur Kampanye Imparsial Al A'raf mengatakan tingginya kekerasan dilakukan prajurit TNI karena dekatnya struktur teritorial dengan masyarakat. Hampir setengah dari kejahatan oleh tentara, pelakunya di struktur teritorial. "Efeknya muncul berbagai kekerasan, korupsi dan lainnya," katanya.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nanang Bahrain mengatakan Undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan aturan dibentuk ketika politik militer sedang menguat di masa Orde Baru. Akta ini dituding untuk menutupi pelanggaran hukum oleh anggota TNI.
Dia menegaskan pengadilan militer terkesan ingin melindungi prajurit berbuat pidana, bukan memberikan efek jera. "Akses dikatakan terbuka itu tidak terlihat," ujarnya.
Nanang menjelaskan DPR sejak sembilan tahun lalu sudah menyepakati soal perubahan beleid soal pengadilan militer. Tetapi presiden tidak mengembalikan daftar isian masalah perubahan itu. "Kita sering melihat wilayah-wilayah jadi bisnis militer. Ini justru jadi legitimasi untuk mengamankan aset dari jenderal–jenderal aktif," tuturnya.
Namun Anggota Komisi I DPR Bidang Pertahanan dan Luar Negeri Mayor Jenderal Purnawirawan Yahya Sacawiria mengatakan prajurit melanggar pidana tidak bisa diadili di pengadilan umum. Sebab, tidak ada aturan prajurit harus disidang di pengadilan sipil. "Kalau dipaksakan diadili di pengadilan umum, justru terjadi pelanggaran undang-undang. Tapi masih terbuka aturan itu untuk diubah atau diselaraskan," katanya. Tapi aturan itu mesti diubah secara bertahap karena pengadilan umum masih dipenuhi kongkalikong.
Dia menegaskan hukuman diberikan kepada prajurit melanggar disiplin militer atau pidana umum justru bisa lebih berat jika diadili di pengadilan militer. "Di pengadilan militer banyak prajurit diganjar hukuman mati, tapi di pengadilan sipil belum tentu dikasih hukuman mati," katanya.
Sejak 2004 sampai awal 2013, jumlah kekerasan dilakukan aparat militer, menurut catatan Imparsial, mencapai 87 kasus. Namun proses pengadilan dan hukuman diberikan kepada pelaku dinilai tidak terbuka.
Koalisi masyarakat sipil menganggap otoritas sipil, termasuk politisi DPR dan presiden, gagal mereformasi peradilan militer. Akibatnya, tidak ada hukuman adil bagi anggota TNI melakukan kekerasan sehingga tidak dapat memberikan efek jera.
Direktur Kampanye Imparsial Al A'raf mengatakan tingginya kekerasan dilakukan prajurit TNI karena dekatnya struktur teritorial dengan masyarakat. Hampir setengah dari kejahatan oleh tentara, pelakunya di struktur teritorial. "Efeknya muncul berbagai kekerasan, korupsi dan lainnya," katanya.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nanang Bahrain mengatakan Undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan aturan dibentuk ketika politik militer sedang menguat di masa Orde Baru. Akta ini dituding untuk menutupi pelanggaran hukum oleh anggota TNI.
Dia menegaskan pengadilan militer terkesan ingin melindungi prajurit berbuat pidana, bukan memberikan efek jera. "Akses dikatakan terbuka itu tidak terlihat," ujarnya.
Nanang menjelaskan DPR sejak sembilan tahun lalu sudah menyepakati soal perubahan beleid soal pengadilan militer. Tetapi presiden tidak mengembalikan daftar isian masalah perubahan itu. "Kita sering melihat wilayah-wilayah jadi bisnis militer. Ini justru jadi legitimasi untuk mengamankan aset dari jenderal–jenderal aktif," tuturnya.
Namun Anggota Komisi I DPR Bidang Pertahanan dan Luar Negeri Mayor Jenderal Purnawirawan Yahya Sacawiria mengatakan prajurit melanggar pidana tidak bisa diadili di pengadilan umum. Sebab, tidak ada aturan prajurit harus disidang di pengadilan sipil. "Kalau dipaksakan diadili di pengadilan umum, justru terjadi pelanggaran undang-undang. Tapi masih terbuka aturan itu untuk diubah atau diselaraskan," katanya. Tapi aturan itu mesti diubah secara bertahap karena pengadilan umum masih dipenuhi kongkalikong.
Dia menegaskan hukuman diberikan kepada prajurit melanggar disiplin militer atau pidana umum justru bisa lebih berat jika diadili di pengadilan militer. "Di pengadilan militer banyak prajurit diganjar hukuman mati, tapi di pengadilan sipil belum tentu dikasih hukuman mati," katanya.
[fas]merdeka.com