e-KTP, triliunan rupiah tetap bermasalah


Senin (6/5) kemarin rakyat Indonesia dikejutkan oleh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 471.13/1826/SJ tentang e-KTP. Surat edaran itu memperingatkan banyak pihak untuk tidak memfotokopi dan menstaples e-KTP agar tidak merusak chip yang menyimpan data pemilik e-KTP.
Melalui surat itu, Mendagri mengimbau semua instansi pemerintah, lembaga kepolisian, lembaga perbankan, badan usaha dan masyarakat luas, agar berhati-hati memperlakukan e-KTP. Untuk kepentingan dokumentasi sebaiknya dicatat nomor induk kependudukan (NIK) dan nama lengkap pepegang e-KTP saja.
Sungguh tidak enak merespons surat edaran itu, tidak peduli apakah itu lembaga pemerintah, badan usaha, maupun masyarakat. Bagaimana tidak, e-KTP sudah dibagikan ke masyarakat sejak tahun lalu, dan kini setelah hampir setahun beredar, baru diperingatkan agar tidak difotokopi dan distaples.
Untuk larangan distaples, tanpa peringatan pun masyarakat sudah menjalani, sebab plastik e-KTP terlalu tebal untuk distaples.

Namun peringatan untuk tidak memfotokopi, jelas-jelas membutuhkan sosialisasi masif bersamaan pembagian e-KTP. Sebab, memfotokopi KTP sudah jamak terjadi, nyaris untuk urusan apapun.

Dengan asumsi bahwa jika difotokopi, chip dalam e-KTP rusak, sehingga data pemilik yang ada di dalamnya bisa rusak, maka bisa diperkirakan hampir semua e-KTP yang beredar, sudah rusak juga.

Sebab, demi jaga-jaga untuk memudahkan banyak urusan, masyarakat langsung memfotokopi e-KTP yang diterimanya. Ini sudah jadi kebiasaan, karena semua urusan membutuhkan fotokopi KTP.

Masalahnya agak berbeda, dan kerusakan fatal bisa dihindari, jika sebelum dibagikan masyarakat sudah mendapatkan peringatan bahwa e-KTP tidak boleh difotokopi.

Jadi, secara teknis, masa berlaku e-KTP lima tahun, tidak terpenuhi, karena sudah rusak akibat difotokopi. Kehebatan e-KTP karena mampu menyimpan data unik per individu juga lenyap.

Jika memang demikian, proyek seharga lebih dari Rp 5,8 triliun, terbuang percuma. Itu anggaran pencetakan e-KTP saja. Jika dihitung dari anggaran persiapan, sosialisasi, dan lain-lain, nilainya bisa lebih dari Rp 10 triliun.

Mengapa proyek strategis dan bernilai triliunan rupiah ini tidak disiapkan dengan matang? Mengapa Kemendagri selaku penanggung jawab proyek ini tidak memikirkan segala kemungkinan pemberlakukan e-KTP? Bukankah proyek ini sudah dicanangkan sejak zaman Orde Baru dengan para birokrat yang hampir sama?

Kejadian ini membuktikan sekali lagi cara berpikir birokrat: proyek adalah proyek. Pekerjaan strategis yang sudah lama direncanakan, tetap saja dianggap sebagai proyek, yang semata dihitung untung-rugi bagi pelaksana proyek. Belitan korupsi yang menimpa sejumlah pejabat Kemendagri dalam proyek e-KTP ini sama sekali tidak mengubah cara berpikir itu. Ini soal mental.

Jauh sebelum e-KTP benar-benar disiapkan, kita sudah menyaksikan rebutan proyek ini dengan bahasa yang halus: ego sektoral. Kemendagri berpegang teguh dengan wewenang administrasi kependudukannya, yang tidak mau tahu urusan lain: perpajakan, kepolisian dan kepemiluan, misalnya.

Akibatnya, saat e-KTP keluar, Kementerian Keuangan mengeluarkan kartu NPWP, Mabes Polri hendak mengeluarkan kartu identitas diri, dan KPU mengeluarkan kartu pemilih setiap kali pemilu.

Padahal kalau di antara mereka mau duduk bersama, dan menyadari bahwa kartu identitas warga negara semestinya cuma satu untuk semua urusan, negara tidak perlu repot mengeluarkan duit banyak.

Tetapi justru di situlah pokok masalahnya, para pejabat dan birokrat hanya melihat: negara bisa menyediakan dana, kenapa tidak dimanfaatkan. Bahwa dana itu dikumpulkan dari pajak rakyat, ya itu sudah menjadi kewajiban rakyat. Sama sekali tidak ada paradigma efisiensi, penghematan, apalagi mengembalikan dana yang sudah telanjur keluar meskipun untuk belanja yang tidak perlu.
[tts]merdeka.com

KliK DI BAWAH INI:



Jangan lupa Comment N Di share yah :)

Comments
0 Comments

0 comments: