Derita bayi dari susu formula


Penderitaan Bima bayi yang baru lahir, tidak berhenti saat Intan dan suaminya membawa anaknya pulang dari salah satu rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Setelah 7 hari menjalani perawatan usai kelahiran, anak itu terus menangis, menagih agar diberi minum. Awalnya tangisan itu diyakini sebagai sesuatu yang lumrah. Belakangan, tangisan itu justru membuat tanda tanya bagi Intan dan suaminya karena disertai muntah jika habis meminum susu formula.
Di awal kelahirannya, Bima mendapatkan dua asupan yaitu ASI dan susu formula hypoalergic. Karena terus menangis, Intan memutuskan untuk membawanya ke dokter yang berpraktek di rumah sakit yang berbeda dengan tempat melahirkan anaknya yang tidak jauh dari rumah dari kediamannya di Komplek Atsiri Permai, Citayam, Jawa Barat.
Selama beberapa hari, anaknya mengalami kolik atau menangis tanpa henti sampai berjam-jam karena perut kejang. Dokter yang menanganinya menyarankan agar susu formula yang selama ini dinikmatinya yang berjenis hypoalergic untuk diganti dengan susu formula biasa atau lebih bagus jika diberikan ASI. Tetapi, intan hanya punya pilihan menuruti dokter karena ASI yang dihasilkan kurang.
Tidak ada perubahan terhadap anaknya, Intan mencoba untuk membawa dokter spesial anak ke rumah sakit lainnya lagi. Paling tidak, sejak kelahiran anak pertamanya yang saat ini usianya mencapai 2 bulan, Intan sudah membawa anaknya pada tiga rumah sakit dan tiga dokter yang berbeda. Tetapi hampir semua dokter menyarankan dengan mengganti susu yang dikonsumsi dari merek A ke merek B atau C.
Selain itu, kata Intan, setelah konsultasi terakhir, dia tetap disarankan agar asupan formula biasa diganti kembali dengan susu hipolaergic meski sebelumnya dokter memprioritaskan agar diberikan ASI terlebih dahulu dan menjalankan diet makanan.
"Alasannya, kalau tidak, kelanjutan dari susu formula dengan 100 persen susu sapi tidak terhidrolisir akan menyebabkan radang telinga (conge). Jika susunya tidak diganti dan mengalami gangguan hidung yang mengeluarkan suara ngrok," ungkapnya.
Tetapi hampir dua bulan, anak pertamanya tersebut tidak kunjung sembuh, Dokter pun menyarankan anaknya melakukan tes feses atau tes laboratorium kotoran dilakukan untuk mencari tahu penyebab diare. Dokter pun menyarankan untuk menggunakan susu formula jenis hypoalergic dengan merek yang lain.
"Walau diare dan penderitaanya berkurang, tapi saat ini harga hipoalergic yang beredar paling murah seharga Rp 120 ribu sedang yang mahal bisa mencapai Rp 400 ribu per-kaleng ukuran 400 gram yang habis dalam tiga hari. Jika diakumulasi per-bulan setidaknya belasan kaleng akan diberikan ke bayi yang mengalami alergi susu sapi. Dan banyak pantangan dan harus hati-hati untuk pemberian makanan," katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Menyusui Indonesia Nia Umar mengatakan bayi yang baru dilahirkan harus diupayakan diberikan air susu ibu sebagai asupannya. Paling tidak ASI eksklusif harus diberikan kepada bayi hingga berusia 6 bulan. Hal ini karena pada rentan usia 6 sampai 9 bulan, ususnya mudah ditembus protein asing.
"Usus tersebut seperti kain kasa yang memiliki lubang-lubang. Jika diberi susu formula, usus tersebut bisa tembus hingga ke dasar. Namun ada mukjizat dibalik ASI, dengan kandungan sel antibodi sIgA dalam jumlah tinggi berperan melapisi permukaan pada usus bayi," katanya.
Nia menegaskan protein susu sapi merupakan alergen yang dapat menimbulkan gangguan pada bayi. Alergen merupakan bahan penyebab terjadinya alergi. "Bayi baru lahir itu sulit untuk mencerna susu formula karena saluran pencernaannya juga belum sempurna."
Dia mengatakan dampak adanya alergi susu pada bayi bisa akibat faktor konsumsi susu sapi ketika ibu dalam hamil, saat awal bayi diberikan susu formula serta proses persalinan. "Jika bayi dilahirkan melalui proses sesar, kemungkinan alergi susu sapi pada bayi yang dilahirkan tersebut akan terjadi. Tapi pada dasarnya, proses selama hamil maupun melahirkan juga mempengaruhi ASI ibunya kelak," ungkapnya.
[arr]merdeka.com


KliK DI BAWAH INI:



Jangan lupa Comment N Di share yah :)

Comments
0 Comments

0 comments: