Kata masyarakat jika premium dijual dua harga


Dalam waktu dekat, pemerintah akan segera mengeluarkan satu paket kebijakan terkait pengelolaan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Paket kebijakan tersebut berisi kebijakan pengendalian konsumsi BBM dan kompensasi bagi masyarakat. Paket kebijakan ini diklaim menjadikan ekonomi nasional tetap sehat.
Yang jelas, pemerintah sudah sepakat untuk mengurangi subsidi BBM bagi orang kaya. Sedangkan subsidi penuh tetap diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Dalam hal ini, pemerintah sudah memberi sinyal bakal menjual BBM bersubsidi jenis premium dengan dua harga. Harga premium Rp 4.500 per liter untuk angkutan umum dan sepeda motor dan Rp 6.500 per liter untuk kendaraan pribadi.
Sejalan dengan makin kencangnya wacana tersebut, rencana pengendalian konsumsi BBM dengan sistem teknologi informasi (IT) yakni dengan memasang RFID di kendaraan pribadi pun perlahan menguap.
Pemberlakuan dua harga premium tentu saja menjadi hal baru bagi masyarakat. Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menilai, penerapan dual price atau dua harga pada BBM jenis premium justru akan membuat bingung masyarakat.
"Ada dual price juga, ini kan berarti ada dua market untuk satu barang. Jangan bikin bingung masyarakat lagi," ungkapnya.
Lalu, bagaimana tanggapan masyarakat jika kebijakan ini diterapkan. Merdeka.com mencoba mengumpulkan pendapat dari berbagai lapisan masyarakat yang nantinya menjadi obyek dari kebijakan ini. Mereka ditemui di SPBU 34.10401 Menteng, Jakarta Pusat. Berikut pandangan mereka.

1. Harga masih terjangkau

Adrian, 27, mengaku sudah mendengar mengenai rencana dua harga jual untuk premium. Karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta ini mengaku setuju dengan rencana tersebut.
"Untuk masyarakat menengah setuju. Tapi masyarakat bawah jangan. Karena akan memicu inflasi," ujarnya.
Menurutnya, dengan harga premium Rp 6.500 per liter untuk kendaraan pribadi pelat hitam, masih bisa dijangkau.

2. Asal ada kompensasi

Hartono, 32 tahun, juga menyatakan setuju dengan rencana pemerintah. Wiraushawan ini tidak mempermasalahkan jika harus membeli premium dengan harga yang lebih mahal.
"Setuju saja kalau pemerintah mau naikin," ujarnya.
Namun, kebijakan tersebut harus sejalan dengan pemberian kompensasi bagi masyarakat miskin yang dikhawatirkan terkena dampaknya. "Asal ada kompensasi ke sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan jangan hanya di korupsi karena harga-harga akan naik," katanya.

3. BBM ilegal bertebaran

Bagi Heru Budhiarto, 23 tahun, punya pandangan berbeda. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi ini melihat, penerapan dua harga jual premium sangat rawan kebocoran.
"Bisa saja semakin banyak BBM ilegal bertebaran. Penerapan dua jenis SPBU juga menyulitkan pengendara karena di beberapa daerah jarak SPBU satu dan lain cukup jauh, nah kalau ditambah sistem ini potensi semakin jauh jarak yang membuat pengendara bisa berputar-putar dan menghabiskan BBM di perjalanan," katanya.
Selain itu, pemilik mobil yang selama ini menggunakan Pertamax, justru seolah diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi dengan harga Rp 6.500. Dalam pandangannya, ada kemungkinan terjadi migrasi konsumsi BBM dari pertamax ke premium.
"Membuat mereka legal dalam mengkonsumsi BBM subsidi Rp 6.500. Logikanya mereka akan beralih dari pertamax karena itu sah dan tidak melanggar etika," ucapnya.

4. Muncul kecemburuan sosial

Alzahari, 47, juga punya pandangan lain terkait rencana penerapan BBM bersubsidi dua harga dan SPBU khusus. Menurut Alzahri yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot, akan lebih baik ada SPBU khusus angkot dan sepeda motor. "Jadi mobil pribadi nggak bisa masuk," katanya.
Menurutnya, penerapan BBM bersubsidi dua harga dikhawatirkan menimbulkan dampak sosial lain. Lebih baik jika harganya disamakan.
"Harganya disamakan jadi nggak saling iri nggak ada cemburu sosial," tambahnya.

5. Motor makin banyak

Bagi Gunawan, 25 tahun, penerapan harga jual premium dua harga dan SPBU hanya khusus bakal merepotkan pengguna kendaraan bermotor.
"Nanti misalnya kehabisan bensin tahu-tahu di depan ada cuma untuk mobil, motor nggak bisa pakai, dalam macet gini juga bingung nanti dorong-dorong motor jauh juga lumayan," ujar Gunawan.
Dia yang bekerja sebagai wiraswasta melihat kebijakan ini belum jelas. Bahkan, bisa memicu bertambahnya jumlah motor. Sebab, harga BBM untuk mobil lebih mahal.
"Kalau gitu orang lari ke motor. Jalanan bisa tambah macet lagi," katanya

Comments
0 Comments

0 comments: